Persaingan yang sehat di pasar
dalam negeri merupakan bagian penting “public policy” pada pembangunan ekonomi
yang dinyatakan TAP MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara Tahun 1999 – 2004 dan TAP MPR RI No. II/MPR/2002 tentang Rekomendasi
Kebijakan untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional yang menegaskan
“mengoptimalkan peranan pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar
dengan menghilangkan seluruh hambatan mengganggu mekanisme pasar melalui
regulasi, layanan publik, subsidi dan insentif yang dilakukan secara transparan
dan diatur dengan undang-undang”.
Semua ini bertujuan untuk menumbuhkembangkan kapasitas pengusaha nasional yang andal dan kuat bersaing di pasar regional dan internasional. Selain itu, kebijakan ekonomi pemerintah mampu meyakinkan para investor asing dan ekportir luar negeri mendapat kesempatan yang sama untuk bersaing di pasar dalam negeri dengan pengusaha lokal/nasional dalam mekanisme pasar yang sehat. Tujuan kebijakan persaingan usaha adalah menumbuhkan dan melindungi para pengusaha melakukan “persaingan sehat” yang dapat dilaksanakan dalam kegiatan ekonomi. Persaingan antar perusahaan adalah pembeli dan penjual memiliki pilihan yang luas kepada siapa untuk berhubungan dagang. Tujuan lain mengurangi atau melarang terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi pada pelaku ekonomi tertentu. Ekonomi pasar yang bersaing tidak terjadi dengan sendirinya. Contohnya seperti pratik politik.
Semua ini bertujuan untuk menumbuhkembangkan kapasitas pengusaha nasional yang andal dan kuat bersaing di pasar regional dan internasional. Selain itu, kebijakan ekonomi pemerintah mampu meyakinkan para investor asing dan ekportir luar negeri mendapat kesempatan yang sama untuk bersaing di pasar dalam negeri dengan pengusaha lokal/nasional dalam mekanisme pasar yang sehat. Tujuan kebijakan persaingan usaha adalah menumbuhkan dan melindungi para pengusaha melakukan “persaingan sehat” yang dapat dilaksanakan dalam kegiatan ekonomi. Persaingan antar perusahaan adalah pembeli dan penjual memiliki pilihan yang luas kepada siapa untuk berhubungan dagang. Tujuan lain mengurangi atau melarang terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi pada pelaku ekonomi tertentu. Ekonomi pasar yang bersaing tidak terjadi dengan sendirinya. Contohnya seperti pratik politik.
Saya akan mencoba membahas tentang UU No 5 Tahun 1999 Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang menjadi dasar hukum persaingan usaha di Indonesia.
Catatan: lengkapnya PP No 57 Tahun
2010 Tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham
Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
Tujuan normatif UU No 5 Tahun 1999
dapat kita jumpai di Pasal 3, secara ringkas yaitu: (i) menjaga kepentingan
umum, (ii) meningkatkan efisiensi ekonomi nasional demi meningkatkan
kesejahteraan rakyat, (iii) mewujudkan iklim usaha yang kondusif sehingga
tercipta kepastian kesempatan berusaha yang sama, (iv) mencegah praktik monpoli
atau persaingan usaha tidak sehat, (v) efektivitas dan efisiensi kegiatan
usaha.
Baiklah, lalu di mana perlindungan
konsumen berada? Pasal 3 UU No 5 Tahun 1999 tampak lebih menitikberatkan pada
perlindungan pelaku usaha dan perekonomian nasional. Ada pendapat yang
mengatakan perlindungan konsumen termasuk di dalam kesejahteraan rakyat. Namun
jangan lupa, pelaku usaha juga bagian dari rakyat, sehingga peningkatan
produsen surplus yang lebih besar dibanding consumer loss yang dialami,
misalnya dalam bentuk kartel harga, juga menciptakan kesejahteraan rakyat
secara keseluruhan.
Pendapat lain menyatakan konsumen
dilindungi dalam UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pendapat ini
tidak salah, tapi juga tidak dapat menafikan pertanyaan pada paragraf awal di
atas. Bukankah praktik monopoli juga merugikan konsumen? Sedangkan tidak ada
ketentuan di dalam UU No 8 Tahun 1999 yang melarang praktik monopoli.
Kembali ke UU No 5 Tahun 1999, kita
dapat memahami jika UU ini bermaksud melindungi UKM. Namun
agak mengherankan jika pasal 3 UU ini tidak mengikutsertakan perlindungan
konsumen sebagai salah satu tujuannya. Perlindungan konsumen hanya dapat kita
temui di penjelasan UU No 5 Tahun 1999 pada bagian I. Umum. Batang tubuh UU No
5 Tahun 1999 sendiri secara eskplisit setidaknya melarang perjanjian
maupun kegiatan dan penyalahgunaan posisi dominan yang merugikan konsumen pada:
- Pasal 5 tentang kartel harga,
- Pasal 19 huruf b tentang penguasan pasar yang digunakan untuk menghalangi konsumen pesaing dalam bertransaksi dan
- Pasal 25 ayat (1) huruf a tentang posisi dominan yang digunakan untuk menghalangi konsumen memperoleh barang atau jasa yang lebih bersaing.
Dengan demikian meskipun secara
normatif tidak dinyatakan pada Pasal 3 UU No 5 Tahun 1999, namun kita yakin
bahwa perlindungan konsumen juga merupakan bagian dari tujuan diundangkannya UU
No. 5 Tahun 1999.
Catatan sejarah mungkin dapat
menunjukkan perspektif yang berbeda mengenai kelahiran UU No 5 Tahun 1999
dibandingkan dengan penafsiran sistematis di atas. Pada kesempatan lain saya
akan bagikan sejarah singkat lahirnya UU No 5 Tahun 1999 yang sangat bagus
ditulis oleh Marie Elka Pangestu (belum menjadi menteri pada saat itu).
Terhadap perlindungan pelaku usaha,
dapatkah suatu pelaku usaha menggunakan UU No 5 Tahun 1999 untuk kepentingannya
ketika bisnisnya kalah bersaing secara tidak adil? Jika kita mengacu pada Pasal
3 UU No 5 Tahun 1999, tentunya jawabannya adalah bisa. Hal ini juga diperkuat
pada Pasal 38 ayat (2) yang membedakan laporan yang disampaikan oleh pihak yang
menderita kerugian dari laporan yang disampaikan oleh semua orang yang
mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran (Pasal 38
ayat (1)). Selain itu Pasal 47 ayat (2) huruf f UU No 5 Tahun 1999 memberikan
kewenangan kepada KPPU untuk menetapkan tindakan administratif berupa
pembayaran ganti rugi, tentunya kepada pihak yang merasa dirugikan.
Kesimpulannya
adalah.
Fungsi hukum adalah melindungi kepentingan subjek hukum.
Subjek hukum terdiri atas orang dan badan hukum. Oleh karena itu hukum yang
melindungi proses menjadi bias karena tidak ada kepentingan yang melekat pada
suatu proses. Persaingan yang dilakukan secara tidak sehat memang mencederai
kepentingan-kepentingan orang lain. Namun sayangnya, ketika kepentingan orang
lain tersebut saling bertabrakan, harus ada pilihan pihak mana yang
diprioritaskan. Kejelasan pilihan tidak didapat ketika tujuan hukum persaingan
berhenti hanya sampai melindungi proses.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar