Jumat, 30 Maret 2012

UU PERSAINGAN SEHAT



Persaingan yang sehat di pasar dalam negeri merupakan bagian penting “public policy” pada pembangunan ekonomi yang dinyatakan TAP MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004 dan TAP MPR RI No. II/MPR/2002 tentang Rekomendasi Kebijakan untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional yang menegaskan “mengoptimalkan peranan pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar dengan menghilangkan seluruh hambatan mengganggu mekanisme pasar melalui regulasi, layanan publik, subsidi dan insentif yang dilakukan secara transparan dan diatur dengan undang-undang”.

Semua ini bertujuan untuk menumbuhkembangkan kapasitas pengusaha nasional yang andal dan kuat bersaing di pasar regional dan internasional. Selain itu, kebijakan ekonomi pemerintah mampu meyakinkan para investor asing dan ekportir luar negeri mendapat kesempatan yang sama untuk bersaing di pasar dalam negeri dengan pengusaha lokal/nasional dalam mekanisme pasar yang sehat. Tujuan kebijakan persaingan usaha adalah menumbuhkan dan melindungi para pengusaha melakukan “persaingan sehat” yang dapat dilaksanakan dalam kegiatan ekonomi. Persaingan antar perusahaan adalah pembeli dan penjual memiliki pilihan yang luas kepada siapa untuk berhubungan dagang. Tujuan lain mengurangi atau melarang terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi pada pelaku ekonomi tertentu. Ekonomi pasar yang bersaing tidak terjadi dengan sendirinya. Contohnya seperti pratik politik.

Saya akan mencoba membahas tentang
UU No 5 Tahun 1999  Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang menjadi dasar hukum persaingan usaha di Indonesia.
Catatan: lengkapnya PP No 57 Tahun 2010 Tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Tujuan normatif UU No 5 Tahun 1999 dapat kita jumpai di Pasal 3, secara ringkas yaitu: (i) menjaga kepentingan umum, (ii) meningkatkan efisiensi ekonomi nasional demi meningkatkan kesejahteraan rakyat, (iii) mewujudkan iklim usaha yang kondusif sehingga tercipta kepastian kesempatan berusaha yang sama, (iv) mencegah praktik monpoli atau persaingan usaha tidak sehat, (v) efektivitas dan efisiensi kegiatan usaha.
Baiklah, lalu di mana perlindungan konsumen berada? Pasal 3 UU No 5 Tahun 1999 tampak lebih menitikberatkan pada perlindungan pelaku usaha dan perekonomian nasional. Ada pendapat yang mengatakan perlindungan konsumen termasuk di dalam kesejahteraan rakyat. Namun jangan lupa, pelaku usaha juga bagian dari rakyat, sehingga peningkatan produsen surplus yang lebih besar dibanding consumer loss yang dialami, misalnya dalam bentuk kartel harga, juga menciptakan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Pendapat lain menyatakan konsumen dilindungi dalam UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pendapat ini tidak salah, tapi juga tidak dapat menafikan pertanyaan pada paragraf awal di atas. Bukankah praktik monopoli juga merugikan konsumen? Sedangkan tidak ada ketentuan di dalam UU No 8 Tahun 1999 yang melarang praktik monopoli.
Kembali ke UU No 5 Tahun 1999, kita dapat memahami jika UU ini bermaksud melindungi UKM. Namun agak mengherankan jika pasal 3 UU ini tidak mengikutsertakan perlindungan konsumen sebagai salah satu tujuannya. Perlindungan konsumen hanya dapat kita temui di penjelasan UU No 5 Tahun 1999 pada bagian I. Umum. Batang tubuh UU No 5 Tahun 1999 sendiri secara eskplisit setidaknya melarang  perjanjian maupun kegiatan dan penyalahgunaan posisi dominan yang merugikan konsumen pada:
  • Pasal 5 tentang kartel harga,
  • Pasal 19  huruf b tentang penguasan pasar yang digunakan untuk menghalangi konsumen pesaing dalam bertransaksi dan
  • Pasal 25 ayat (1) huruf a tentang posisi dominan yang digunakan untuk menghalangi konsumen memperoleh barang atau jasa yang lebih bersaing.
Dengan demikian meskipun secara normatif tidak dinyatakan pada Pasal 3 UU No 5 Tahun 1999, namun kita yakin bahwa perlindungan konsumen juga merupakan bagian dari tujuan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1999.
Catatan sejarah mungkin dapat menunjukkan perspektif yang berbeda mengenai kelahiran UU No 5 Tahun 1999 dibandingkan dengan penafsiran sistematis di atas. Pada kesempatan lain saya akan bagikan sejarah singkat lahirnya UU No 5 Tahun 1999 yang sangat bagus ditulis oleh Marie Elka Pangestu (belum menjadi menteri pada saat itu).
Terhadap perlindungan pelaku usaha, dapatkah suatu pelaku usaha menggunakan UU No 5 Tahun 1999 untuk kepentingannya ketika bisnisnya kalah bersaing secara tidak adil? Jika kita mengacu pada Pasal 3 UU No 5 Tahun 1999, tentunya jawabannya adalah bisa. Hal ini juga diperkuat pada Pasal 38 ayat (2) yang membedakan laporan yang disampaikan oleh pihak yang menderita kerugian dari laporan yang disampaikan oleh semua orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran (Pasal 38 ayat (1)). Selain itu Pasal 47 ayat (2) huruf f UU No 5 Tahun 1999 memberikan kewenangan kepada KPPU untuk menetapkan tindakan administratif berupa pembayaran ganti rugi, tentunya kepada pihak yang merasa dirugikan.
Kesimpulannya adalah.
Fungsi hukum adalah melindungi kepentingan subjek hukum. Subjek hukum terdiri atas orang dan badan hukum. Oleh karena itu hukum yang melindungi proses menjadi bias karena tidak ada kepentingan yang melekat pada suatu proses. Persaingan yang dilakukan secara tidak sehat memang mencederai kepentingan-kepentingan orang lain. Namun sayangnya, ketika kepentingan orang lain tersebut saling bertabrakan, harus ada pilihan pihak mana yang diprioritaskan. Kejelasan pilihan tidak didapat ketika tujuan hukum persaingan berhenti hanya sampai melindungi proses.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar