Tiga belas tahun setelah pekik reformasi, ternyata cuma menetas ke kantong-kantong keserakahan elite tertentu, bersikap aji mumpung dari perubahan kesempatan, prosedur, kelembagaan politik, dan penegakan hukum. Bagi rakyat banyak yang membayangkan penegakan hukum sebagai sarana keadilan dan perlindungan hukum bagi kaum yang lemah. Akan tetapi, tekanan rezim baru pada penegakan hukum yang semakin hari semakin tidak mewujudkan keadilan dan semakin tidak berpihak kepada rakyat kecil.
Kesemuanya itu, hanya memerosotkan dan menihilkan wibawa reformasi sebagai sebuah mimpi buruk terhadap penegakan hukum yang lebih baik.
Hasrat reformasi untuk menegakkan hukum atau menjadikan hukum sebagai panglima ternyata tidak terjadi. Dalam realitas, hukum belum mampu menunjukkan superioritasnya untuk dilaksanakan kepada siapa saja tanpa pandang bulu. Tetapi, justru menjadi area yang empuk untuk berlindung bagi individu atau kelompok elite politik yang dekat dengan kekuasaan.
Karena itulah, memperingati perjuangan tiga belas tahun reformasi, maka seluruh komponen mahasiswa di seluruh Indonesia kembali mengingatkan : bahwa sesungguhnya substansi reformasi adalah menghargai kebenaran, dan reformasi adalah ketaatan terhadap hukum. Maka dari itu, tidak boleh ada diskriminasi dan tidak boleh ada istilah tebang pilih.
Memang, hukum sejatinya adalah untuk menghadirkan keadilan. Dengan demikian, jika produk hukum ataupun putusan hukum tidak lagi berisi nilai-nilai keadilan, sejak saat itu hukum tidak berhak lagi menyandang predikatnya sebagai hukum. Pada saat itu hukum telah menjelma menjadi kekuasaan di tangan segelintir/sekelompok orang untuk melakukan penindasan terhadap kelompok lemah.
Politisasi Hukum
Sikap skeptis dan pesimis, bahkan putus asa merebak dari segala penjuru seperti yang ditayangkan di televisi. Keadaan negara tak kunjung melaksanakan penegakan hukum yang benar. Justru sebaliknya, kita menyaksikan penegakan hukum yang tidak adil atau masyarakat termarjinalisasi berhadapan dengan hukum.
Bahkan, ironisnya mereka yang memiliki kekuasaan terkadang lolos dari jeratan hukum. Maka mau tidak mau kondisi seperti itu akan memunculkan gugatan terhadap eksistensi hukum semakin menguat.
Ketika keadilan semakin menjauh dalam proses hukum, hanya karena ketidak mampuan menegakkan hukum untuk memperlakukan seseorang secara adil. Prinsip equality before the law bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum, hanyalah sebuah cerita atau lip service belaka.
Sementara, apa yang kita pikirkan ketika menyaksikan seorang anak harus berhadapan dengan proses hukum yang tidak mengenal kompromi hanya gara-gara kedapatan mengambil sepatu atau sandal atau contoh kasus yang menarik adalah kasus nenek Minah yang dituduh mencuri tiga biji kakao.
Dalam kasus ini seluruh unsur pasal 362 KUHP terbukti, yaitu terdakwa mengambil barang milik orang lain dengan maksud untuk memiliki. Hakim yang mengadili perkara tersebut menerapkan pasal 362 sehingga dia harus menjatuhkan hukuman pidana voorwar delijk (percobaan) kepada terdakwa.
Walaupun dengan dalil dan dalih asas legalitas, keadilan harus tetap dikedepankan. Pencurian sandal ataupun beberapa biji kakao secara yuridis memang telah memenuhi ketentuan atau unsur-unsur KUHP. Namun, apakah serta merta harus dilakukan proses hukum formal sebagaimana layaknya perkara korupsi atau pelanggaran HAM.
Demi kepastian hukum, sekecil apapun pelanggaran hukum harus diproses secara hukum. Sampai di sini, siapapun pasti tidak keberatan dengan ungkapan itu. Akan tetapi, masalahnya adalah apakah dalam beberapa kasus tersebut harus digunakan cara-cara formal untuk menyelesaikannya? Haruskah hakim menjatuhkan sanksi pidana berupa penjara meskipun hanya beberapa minggu? Disisi lain, begitu banyak kasus yang nilainya milyaran bahkan triliunan tetapi harus lenyap dalam proses hukum. Perkaranya harus dihentikan tanpa adanya kejelasan dan alasan hukum yang pasti.
Seperti dilukiskan James Fenimore Coper, yaitu merupakan kepungan sifat buruk demokrasi ketika untuk menggantikan hukum dengan opini politik. Ini adalah wujud yang umum, dimana sejumlah orang mempertunjukkan sifat tirani, melakukan justifikasi untuk melakukan politisasi hukum.
Dimensi Keadilan
Rezim Orde Baru (Orba) yang berkuasa selama 32 tahun dianggap sangat korup dan cenderung tidak menegakkan hukum. Karena itu, dianggap telah melenceng dari keinginan para pendiri bangsa ini yang telah menyatakan bahwa Indonesia yang hendak dibangun merupakan negara yang bertujuan untuk melindungi segenap tumpah darahnya. Untuk itu, semua proses hukum harus di arahkan untuk mewujudkan cita-cita bangsa tersebut.
Artinya, tujuan mulia para founding father sebagai pendiri negara adalah tidak boleh degradasi oleh produk hukum yang bertentangan dengan tujuan untuk memberikan keadilan bagi rakyatnya. Sebab keadilan itu menjadi tujuan, sementara kepastian hukum itu merupakan salah satu cara untuk meraih keadilan.
Oleh karena itu, suka atau tidak bahwa substansi KUHP yang dibuat beberapa abad lalu tidak jarang meminggirkan keadilan terhadap anak-anak atau orang lanjut usia. Hal itulah, di era reformasi seperti sekarang ini di butuhkan penegak hukum yang berpandangan progresif. Mereka tidak boleh terpaku pada pandangan legalistik atau pada bunyi teks hukum semata-mata (corong undang-undang), tetapi memaknai teks tersebut dalam konteks kekinian dan kebutuhan yang terus menerus berkembang.
Dalam kaitan itulah, penegak hukum harus memiliki keberanian untuk tidak menegakkan undang-undang jika akan melahirkan ketidakadilan atau menimbulkan keresahan sosial. Sebagai contoh, reaksi publik dalam sebuah proses hukum tidak boleh dimaknai sebagai pembangkangan, tetapi sebagai sinyal bahwa ada sesuatu yang salah dalam proses itu.
Atau dengan kata lain, proses hukum yang adil (due process of law) sesungguhnya mengandung makna yang dalam. Yaitu tidak sekadar menuntut agar undang-undang dijalankan sebagaimana rumusan tekstualnya, tetapi bagaimana keadilan dihadirkan secara riil dalam konteks penegakan hukum di era sekarang ini.
Dengan proses hukum yang adil, hakim dapat mewujudkan agar undang-undang dijalankan sebagaimana rumusan tekstualnya, tetapi bagaimana keadilan dihadirkan dalam konteks penegakan hukum.
Oleh karena itulah, hakim di dalam mengadili menurut hukum di samping menerapkan undang-undang juga harus mampu menemukan hokum (rechtsvinding) yang hidup di tengah-tengah masyarakat ataukah mampu menciptakan hukum itu sendiri (rechtschepping).
Hal ini, sejalan dan relevan dengan apa yang pernah dikatakan seorang filsafat terkenal, Immanuel Kant: bahwa keadilan merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia (if justice is gone, there is no reasons for a man to live longer on earth).
Dalam konteks ini, fokus dan komitmen penegak hukum haruslah dilaksanakan dengan jujur , independen dan penuh integritas. Artinya, penegakan hukum jangan berhenti pada janji dan retorika belaka. Sebab yang dibutuhkan rakyat sekarang adalah bukti nyata dan implementasi dari berbagai harapan yang dijanjikan.
Terlalu mahal jika penegakan hukum dituntaskan oleh kepentingan politik dan eksperimen kekuasaan. Sebab Indonesia sebagai negara hukum di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan pada prinsip supremacy of law yang pada hakekatnya bahwa dalam negara hukum, eksistensi hukum harus menjadi penentu segala-galanya sesuai dengan prinsip the rule of law.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar